Minggu, 25 September 2016

Aku, kau dan kota hujan punya cerita tentang kita

Aku, Kau Dan Kota Hujan
          Awal hari yang cukup sibuk di waktu dini hari, Pelabuhan Merak – Minggu 8 Februari 2016 waktu tepat menunjukan pukul 02:30 dini hari. Aku berjalan menuruni tangga setapak dari sebuah kapal pengangkut penumpang di pelabuhan itu, menandakan bahwa perjalananku di pulau ini akan segera dimulai. Dengan mata yang agak sayup aku memaksa berjalan menuju terminal bus terdekat di pelabuhan itu mencari bus menuju tempat tujuanku. Nampaknya aku harus menunggu, karena begitu banyak bus hilir mudik melewatiku namun tak satu juga bertuliskan tempat dimana tujuanku itu. Bahu jalan, ya itu tempat yang tepat untuk bersandar sembari menunggu bus yang ku cari. Sebatang rokok kunyalakan untuk mengusir kejenuhan sambail sesekali melihat ke kanan dan ke kiri. 
“Jakarta Bogor Bandung” teriak seorang kondektur bus memanggil penumpang.
Aku segera bergegas menghampiri bus tersebut.
“Mau kemana mas” dengan logat Sunda yang khas
“Bogor pak, terminal Baranangsiang” ucapku kemudian
“Ayo Bogor berangkat” .....
          Suasana di dalam bus masih cukup sepi penumpang, hanya beberapa kursi di depan yang terisi dengan penumpang. Aku berjalan menuju kursi paling belakang, sengaja mencari tempat yang sepi dan cukup lapang untuk beristirahat.
          Terik mentari pagi membangunkanku dari peristirahatanku, waktu menunjukan pukul 07:00 terlihat dari ponsel yang berdering menandakan adanya pesan masuk.
“udah sampe mana? Udah turun dari kapal belum ? kok nggak ngasih kabar?”
Aku hanya tersenyum membaca pesan dari seseorang di sana. Jariku bergerak lincah mencari nomor ponsel si pengirim pesan tadi. Tuuut .... tuuuuttt,.. bunyi tanda sambung yang kemudian terdengar suara jawaban setelahnya.
“Halo”,...
“iya halo, maaf ya aku ketiduran jadi nggak ngasih kabar” jelasku.
“huu kebiasaan, udah sampe mana kamu?” tanyanya dengan nada cemas.
“sampe Jakarta, tadi berhenti di Balaraja nunggu penumpang, jadi agak lama”.
“Emang turun dari kapal jam berapa?”
“jam 02:30, tadi nunngu bus dulu, dapet bus jam 03:00an”
“itu bus langsung ke Bogor?”
“iya aku nyari yang langsung ke Bogor biar nggak ribet”.
“yaudah kalo gitu, nanti sampe Bogor turun di Terminal Baranangsiang, pokoknya nanti klo udah sampe terminal kabarin aja, ati – ati kamu, jangan tidur terus, waspada lagi di jalan” dengan nada cemas.
“iya iya ,.. nanti aku kabarin lagi tenang aja hehe” jawabku tenang, lalu ku akhiri percakapan tersebut.
          Jakarta – Bogor, kurang lebih masih satu jam atau satu jam setengah kalau tidak macet pikirku, yah tidur lagi menjadi pilihan terbaik.
Tepukan kondektur bus membangunkanku “mas mau kemana?”
“Bogor pak, terminal Baranangsiang” jawabku
”sebentar lagi sampai mas teerminal Baranangsiang”.
Aku melihat jam di ponselku menunjukan pukul 08.30, tepat perkiraanku. Tersadar tempat tujuanku sebentar lagi, ditambah dengan suasana bus yang sekarang sarat dengan penumpang, aku pun memutuskan untuk bangun dan siaga satu untuk turun dari bus.
“Bogor Baranangsiang abis” teriak kondektur menginstruksikan kepada penumpang dengan tujuan tersebut.
Aku bergegas turun dari bus, menuju bahu jalan dimana pedagang kaki lima berjajar dengan aneka ragam santap sarapan bagi mereka yang tidak sempat masak ataupun sekedar ingin makan di luar.
Pagi itu cukup cerah dengan suasana kota yang cukup ramai dengan hilir mudik kendaraan. Inilah kota Hujan tujuanku. Ternyata kota ini tidak hanya terkenal dengan hujanya sepanjang tahun yang membuat kota ini sejuk dengan tanaman dan pepohonan yang subur, tetapi angkutan kota pun subur di tengan berkembangnya peradaban. Sedari tadi perhatianku tertuju pada hilir mudik angkutan kota berwarna hijau dengan berbagai nomor tujuan, inilah salah satu kekayaan negara ini, keunikan yang terkadang luput dari perhatian kita.
Sambil beristirahat di dekat pedagang kaki lima, tanganku merogoh saku celanan mengambil ponselku. Aku teringat harus menghubunginya setelah sampai di Bogor.
“halo udah sampe mana” terdengar suara dari seberang telpon
“udah sampe Bogor, udah di terminal Baranangsiang, terus kemana lagi?”
“hah beneran udah sampe ?, yaudah kamu naik angkot warna ijo nomor 09, terus bilang turunya di MCD sebelum lampu merah, nanti aku tunggu di situ deket pos polisi, bayarnya Rp.3500, kalo dimintain lebih jangan mau”
“iya iya, yaudah ini angkotnya lewat, nanti aku kabarin kalo udah turun angkot”
          Segera aku memberhentikan angkot warna hijau dengan nomor 09, tertera jelas, “perempatan MCD ya pak” aku mencoba menjelaskan tempat tujuanku. Aku duduk di belakang supir persis, dan sekali lagi aku mengamati hiruk pikuk kota yang baru saja aku menginjakan kaki di sini. Kota yang asri dengan modernisasi dan tradisi yang tumbuh berdampingan. Meskipun kota ini menjadi salah satu kota yang cukup pesat dengan perkembanganya namun terdapat satu hal yang menarik perhatianku. Keramahan dan kesederhanaan kurasakan menyambutku di sini, kulihat hilir mudik masyarakat yang masih terbiasa berjalan kaki. Ini memang langka di tengah majunya sebuah pembangunan, tradisi dan kesederhanaan tumbuh berdampingan. Meskipun banyak kendaraan pribdadi, namun kendaraan umum seperti angkutan kota masih menjadi pilihan utama bagi masyarakat setempat, ini unik.
“turun disini mas, itu depan MCD” kata sopir angkot menyadarkan lamunanku.
“oh iya pak” aku pun turun menuju trotoar sambil mencari pos polisi yang menjadi petunjuknya.
Yap. Itu dia!
Duduk seorang gadis di dekat pos polisi di perempatan lampu merah. Seseorang yang ku kenal, dengan jaket sweater warna pink sedang menunggu seseorang, dengan sesekali melihat hilir mudik angkot di hadapanya. Dia masih seperti dulu, seseorang yang serius, dengan kemisteriusan yang terkadang aku tak mengerti. Sesekali lagi dia mengamati angkutan kota yang hilir mudik, kemudian pandangannya terhenti saat menoleh ke kiri tepat ke arah aku datang menghampirinya. Raut wajah yang tadinya kuamati serius kini berubah menjadi senyuman. Senyuman khas yang ku kenal, begitu sederhana namun menenangkan. Senyuman dari wajah yang sekian lama kurindukan, senyuman yang sekian lama hanya kulihat lewat foto – foto yang dikirimkan lewat media sosial, suara tawa yang hanya ku dengar lewat telpon, dan kini Dia ada di hadapanku. Ini nyata.
“hmmmm akhirnya sampe juga kamu” sambil tersenyum
Aku hanya membalas dengan senyuman dan pandangan kurang mengerti.
“yaudah yuk, kostan ku masih jauh dari sini, jalan kaki aja ya, nggak ada motor soalnya hehe” sambil berjalan didepanku memandu arah menuju tempat kostnya.
Kami berjalan mnyusuri lorong gan, dan ternyata cukup jauh. Seperti dalam film-film, menyusuri lorong gang sempit, turun dan menanjak melewati pemukiman penduduk. Lingkungan perkotaan dengan pemukiman yang sangat padat, nyaris tidak aada tanah sebagai resapan air. Semua telah disemen dan diaspal sehingga saat hujan turun air mengalir begitu saja dan inilah yang menyebabkan jakarta banjir, karena air hujan dari Bogor “dikirim” ke Jakarta.
“masih jauh ya?” tanyaku sambil menuruni tangga gang
“hehe enggak kok bentar lagi sampe” jawabnya mencoba menenangkan
“huh jauh banget kostanmu” sedikit mengeluh
“hehe ini udah sampai, ini dia kostanku, silahkan masuk” sapanya dengan ramah sambil membuka pintu.
Setelah melewati jembatan kecil dari sebuah selokan besar, dengen gemericik air yang cukup menenangkan akhirnya sampai di kostanya, atau lebih tepatnya kontrakan rumah dengan empat kamar di dalamnya. Rumah yang tidak terlalu kecil namun cukup nyaman. Suasananya sangat tenang, bahkan sepi, mungkin karena hari libur, sehingga kebanyakan anak kost di sini pulang kampung.
Aku melepaskan sepatuku yang cukup kusam, bukan hanya kusam karena perjalanan namun juga kusam karena perjalanan usianya. Sgera kuletakan di rak sepatu yang terletak di depan rumah tepatnya di sebelah kiri pintu utama. Aku berjalan memasuki rumah dan kutemui ruang utama. Mungkin ruangan ini yang menjadi tempat mereka berkumpul, terlihat karpet kecil berukuran dua kali satu setengah meter terhampar di lantai. Nampak dihadapanya televisi berukuran 14 inc sebagai penghibur mereka di kala kesibukan kuliah. Sebuah dispenser terduduk disamping televisi dengan isi air yang hampir tidak terlihat, mungkin sudah lama dibiarkan seperti itu. Sekali lagi kutemui kesederhanaan yang harus disyukuri.
Aku segera melepaskan tas ranselku yang cukup berat kugendong semalaman lalu kuletakan di atas karpet tepat di depan televisi. Ini dia yang kutunggu, segera kurebahkan tubuhku di atas karpet, rasanya nyaman sekali setelah semalaman tertidur duduk di bus. Serasa tulang belulangku dikendorkan dari kekakuanya, otot – otot ini mengendur dan meluruskan posisinya.
“kamu udah makan belum?” dia bertanya dengan perhatian
“ah,... belum lah, aku gak biasa makan kalo lagi perjalanan hehe” jawabku sedikit terkaget.
“yaudah mau makan dulu apa mandi dulu, bau tuh kotor belom mandi”
“ehmm tidur dulu deh sebentar hehe” jawabku sekenanya.
“huh gak nyambung, yaudah aku keluar dulu ke warung beli lauk, kamu  istirahat dulu aja atau mandi dulu terserah deh hemm” katanya dengan sedikit kesal
“hehe iya santai aja” jawabku tenang.
          Dia berlalu pergi dengan cepat dan menghilang. Dia masih seperti dulu, namun sekarang dia lebih dewasa, ternyata tempat dia berada sekarang banyak mendidiknya. Meskipun dia masih sesederhana dulu, namun inilah satu keunikan darinya, satu hal yang cukup istimewa. Kami berteman sejak dari SMA, dia adalah adik kelasku. Namanya Imma Nuriana, kami berteman cukup lama dan dia sekarang seddang menempung pendidikan D3 nya di Institut Pertanian Bogor. Aku pernah menjalin hubungan denganya sebelumnya, namun tidak berlangsung lama kita pacaran, kita putus hanya dalam waktu dua bulan karena aku sibuk kerja dan pada saat itu dia cukup sibuk dengan sekolahnya menjelang ujian nasional. Setelah dua tahun kami hanya berkomunikasi lewat ponsel, hanya bertemu sekali dua kali saat libur semester atau lebaran, itu saja. Rencana Tuhan memang tidak ada yang tahu, kami dipertemukan saat lebaran, dan sejak saat itu kami berkomunikasi lebih intens dan katakanlah kami pacaran lagi sudah hampir lima bulan sampai sekarang.
          Aku sengaja dan berencana untuk mengunjunginya di waktu libur ini, selain aku telah berjanji, juga karena dia liburan ini tidak pulang ke Lampung karena akan ada PKL di bulan ini. Tidak jadi masalah, terkadang cinta itu harus rela berjuang dan berkorban, seperti kata orang bijak, “orang yang mencintai itu adalah orang yang mau berkorban”, agak berlebihan namun setidaknya inilah yang sedang terjadi.
“belum mandi.... mandi dulu biar seger, abis itu sarapan, nanti aku ajakin main deh maunya kemana”... tiba – tiba kedatanganya membangunkanku.
“iya iya bentar lagi, kamu beli apa?”
“udah yang penting kamu mandi dulu sana, nanti abis mandi sarapan, sono mandi ah”..
“iyaya”,....

          Aku segera mengambil peralatan mandi yang telah kusiapkan sewaktu mau berangkat, lalu aku bergegas menuju ke kamar mandi.........

to be continued

Senin, 23 Mei 2016

Sekilas tentang jarak dan cinta


Sekilas tentang jarak dan cinta. Dari jarak aku belajar pentingnya sebuah kebersamaan dan begitu berharganya sebuah kepercayaan.
Cinta tidak mengajarkan untuk memiliki tetapi menjaga, bukan hanya saat dekat tetapi juga saat berjarak. LDR dikatakan sebagai pacaran jarak jauh, tp bagiku LDR bukan sekedar pacaran, saat pacaran berakhir LDR pun berakhir. Bagiku LDR itu nggak harus pacaran, tp lebih dari itu. Ketika kata sayang dan cinta tak lagi dan tak bisa terucap, namun sendirinya tak berkurang sedikitpun kadarnya. Dalam jarak saling menjaga,mendoakan dan saling percaya bahwa rencana Tuhan pasti lebih indah. Ldr my love story, without the trust love is nothing, without love live is nothing. Ldr my love my adventure.🙆

Rabu, 18 Mei 2016

"Teman gila"

Sekarang dua bulan telah berlalu sejak kita sepakat untuk mengakhiri "hubungan" ini. Dia di sana sedang sibuk dan memfokuskan diri menyelesaikan studinya. Aku di sini pun sibuk dengan studi dan amanah yang sedang kuemban sekarang sebagai ketua HMJ.
Kami hanya sesekali berkomunikasi, sekedar bertukar kabar dan bersenda gurau. Memang tak sedekat dan seakrab dulu, tapi ini akan terus berlangsung. Yang aku sadari saat ini adalah pertemanan itu variabel yang terbebas, ikatan tanpa batas, ikatan yang berkualitas. "Tetep jadi temen gila gue ya", begitulah seharusnya dan yang terjadi sekarang.
"Iya gua bakal terus gila dan siap gila-gilaan lagi bareng elu". Tunggu tanggal mainya aja hehehe